KASUS TENTANG DISINTEGRASI YANG TERJADI DI INDONESIA
TUGAS
3
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
KASUS
TENTANG DISINTEGRASI YANG TERJADI DI INDONESIA
Dosen
Pengampu:
Kurniawan
B. Prianto, S.Kom.SH.MM.
Disusun Oleh:
Fiqih
Kartika Murti
10522562
1PA22
FAKULTAS
PSIKOLOGI
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2022
KONFLIK
ANTAR ETNIS (1972-1998)
Kerusuhan
mengerikan pada tahun 1972 itu diawali dari peristiwa pembunuhan seorang tukang
becak oleh warga keturunan Arab di Pasar Kliwon (Rustopo, 2007: 99-100).
Kerusuhan itu bermula dari ketidak sepahaman antara seorang encik Arab dengan
seorang penarik becak yang berakhir dengan meninggalnya seorang penarik becak.
Kabar meninggalnya tukang becak dengan cepat menyebar ke seluruh kota
Surakarta, dan kemudian menyulut kemarahan massa lapisan bawah (Riyadi,2015:90).
Pagi hari setelah kejadian itu, tukang-tukang becak se-Surakarta dengan cepat
menggerombol mendatangi lokasi kejadian, dan memprotes pelaku pembunuhan. Pada
sore hari sampai malam harinya massa melakukan perusakan dan pembakaran
toko-toko di Pasar Pon dan jalan Coyudan yang ternyata milik orang-orang
Tionghoa. Yang menarik, yang dirusak itu bukan toko milik orang-orang Arab
saja, tetapi milik pedagang-pedagang Tionghoa (Rustopo,2007:100).
Delapan
tahun setelah kerusuhan 1972, pada tahun 1980 pecah lagi kerusuhan yang lebih besar.
Kerusuhan ini dilatar belakangi oleh kejadian tabrakan lalu-lintas di jalan
sekitar Warung Pelem pada 19 November 1980, antara pipit (Jawa) pelajar Sekolah
Guru Olahraga (korban) dan kicak, seorang pemuda Tionghoa. Kemudian disusul
dengan pemukulan pipit oleh kicak (Rustopo, 2007:100-101). Tanggal 20 Nopember
1980, Pipiet mengumpulkan teman teman sekolahnya. Sekitar 50 orang siswa bergerak
menuju Jalan Urip Sumoharjo untuk mengadakan aksi demonstrasi. Sambil meneriakkan
yel-yel untuk menyerahkan pelaku (Wasino, 2006:65). Peristiwa ini dengan cepat berkembang
menjadi kerusuhan massal di bagian-bagian Kota Surakarta yang terdapat pertokoan
milik orang-orang Tionghoa. Massa selain merusak dan membakar toko-toko, juga menjarah
semua isinya (Rustopo,2007:101). Aksi anarkis yang berlangsung selama beberapa
hari lamanya, dimulai daerah Coyudan kemudian menjalar ke daerah-daerah lainnya
dan ditunggangi para “gali” (gang anak liar) yang menjarah toko-toko tersebut.
Dengan cepat kerusuhan menjalar ke Boyolali, Salatiga, Ambarawa, Banyubiru,
Candi dan Semarang. Di kota ini para perusuh melempari semua rumah dan toko
milik Tionghoa. (Setiono, 2002: 1027).
Setelah
Surakarta tenang selama 18 tahun, timbul lagi kerusuhan anti Tionghoa yang
lebih besar pada Mei 1998. Aksi mahasiswa di UMS muncul sebagai reaksi
solidaritas memprotes tindakan kekerasan aparat keamanan pada peristiwa Trisakti
tanggal 12 Mei 1998 (Wasino,2006: 68). Kerusuhan di kota Surakarta tahun 1998
terjadi selama dua hari yaitu pada tanggal 14 Mei – 15 Mei 1998, pada awalnya
kerusuhan dimulai di area kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) namun
pada akhirnya kerusuhan tersebut meluas hingga keluar kampus UMS. Sejak pukul
09.30 WIB pada tanggal 14 Mei 1998 ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan
tinggi di Surakarta berkumpul di Pabelan (depan kampus UMS). Mereka berencana
mengadakan pawai jalan kaki menuju balaikota Surakarta. Pada pukul 10.00 WIB
mereka mulai bergerak mendekati jalan raya Surakarta-Kartasura, tetapi ditahan
oleh aparat (Rustopo, 2007: 102). Pukul 14.50 kendaraan perintis (Rantis) dan
Panser Brimob memasuki lokasi dan berupaya memecah barisan mahasiswa. Tembakan
air berkali-kali dari Rantis dan Panser tidak meredakan suasana. Hingga pukul
17.45 aksi mahasiswa bubar dan satu persatu meninggalkan lokasi. (Jusuf dkk,
2007:63). Pagi harinya (dini hari), pada tanggal 15 Mei 1998 masih berlangsung
kerusuhan dengan pola yang sama dengan peristiwa sebelumnya. Sejak tengah malam
sudah terjadi pembakaran ulang di kawasan pertokoan dan perkantoran Beteng Plaza,
Pusat Grosir Solo dan sekitarnya. Pada siang hari massa menjarah area Pasar
Legi, Sumber, Nusukan, Jongke dan Grogol. Toko-toko milik warga etnis Tionghoa
seperti Swalayan Planet, Sampurna dan pertokoan lainnya dibakar oleh massa. Di
daerah Jongke beberapa ruko milik warga etnis Tionghoa (ekonomi menengah) habis
terbakar (Jusuf dkk, 2007:70-71).
Faktor-Faktor
Pemicu Kerusuhan Anti Tionghoa Tahun 1972-1998
Terdapat tiga faktor
yang paling dominan yang melatarbelakangi peristiwa rasial antara etnis
Tionghoa dengan pribumi Jawa di Surakarta tahun 1972-1998, antara lain sebagai
berikut.
1) 1) Provokasi-provokasi hingga terbentuknya
mobilisasi massa.
Kerusuhan rasial pada tahun 1972, mobilisasi massa terbentuk ketika mendengar berita terbunuhnya tukang becak oleh warga keturunan Arab menyebabkan pada pagi harinya tukangtukang becak se-Surakarta dengan cepat menggerombol mendatangi lokasi kejadian karena adanya provokasi untuk memprotes pelaku pembunuhan. Dari menit ke menit aksi tersebut terus berkembang. Mobilisasi massa juga menjadi penyebab membesarnya peristiwa huru-hara tahun 1980 di Surakarta. Dalam peristiwa ini mobilisasi massa mulai terbentuk karena adanya provokasi oleh Pipiet karena tidak terima atas penyerangan yang menimpanya kemudian Pipiet berhasil mengumpulkan teman-teman sekolahnya.
2) 2) Konflik Individual.
Konflik antar individu dalam kerusuhan tahun 1972 dan 1980 di Surakarta menjadi awal kerusuhan yang sangat besar. Seharusnya konflik antar individu ini tidak seharusnya dapat menyebabkan kerusuhan massa yang mengerikan. Namum uniknya disini adalah konflik yang hanya melibatkan beberapa orang bisa memicu konflik yang serius. Konflik tahun 1972 di Surakarta, merupakan masalah sepele yang bermula dari ketidaksepahaman antara seorang encik Arab dengan penarik becak. Masalahnya adalah ketidak sepahaman masalah pembayaran jasa. Akhirnya terjadilah perang mulut dan saling memukul yang berakhir terbunuhnya tukang becak itu.
3) 3) Aksi Mahasiswa
Peristiwa
14 Mei 1998 dimulai dengan aksi demonstrasi mahasiswa yang terjadi di dua
tempat, yakni di kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Pabelan dan
Universitas Sebelas Maret (UNS) di Kentingan, Surakarta. Dari kedua aksi itu
memunculkan kekerasan massa yang dimulai dari kampus UMS. Kejadian itu kemudian
melebar, dan mahasiswa mulai bergerak keluar kampus. Aksi damai sekaligus aksi
menuntut adanya reformasi yang digelar mahasiswa berubah seketika menjadi
bentrok yang besar, di tambah lagi dengan keterlibatan masyarakat sekitar yang
mudah terprovokasi menjadikan aksi ini sebagai awal terjadinya kerusuhan Mei
1998.
Dampak
Kerusuhan Tahun 1972
Dampak dalam peristiwa
tahun 1972 dibagi menjadi dua, yaitu dampak Material dan dampak ekonomi.
1) 1) Dampak Material. Pada peristiwa ini kerumunan-kerumunan massa bergerak ke perkampungan Arab di daerah Pasar Kliwon dan ke pusat-pusat perdagangan untuk merusak toko-toko milik orang Arab. Pada sore hari dampak dari kerusuhan tersebut meluas hingga ke daerah Pasar Pon dan Jl Coyudan untuk merusak dan membakar tokotoko yang ternyata milik orang-orang Tionghoa (Rustopo, 2007: 100). Puluhan bangunan toko dan rumah-rumah milik orang Arab dan Tionghoa mengalami kerugian besar karena hampir semua tokotoko serta rumah-rumah mereka disepanjang Jl. Coyudan, pasar Kliwon dan pasar Pon hancur dan hangus di bakar oleh massa.
2) 2) Dampak Ekonomi. Perekonomian di wilayah pasar
Kliwon, pasar Pon dan Jl. Coyudan serta wilayah-wilayah disekitarnya lumpuh total
selama beberapa hari karena toko-toko baik di pasar maupun di kios-kios pinggir
jalan tutup. Tidak ada aktivitas perekonomian di daerah tersebut. Pedagang
tidak berani membuka tokonya karena takut ada kerusuhan susulan. Akibatnya
barang-barang kebutuhan sehari-hari jadi langka. Warga sekitar kerusuhan
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok.
Dampak
Kerusuhan Tahun 1980
Dampak yang di hasilkan akibat kerusahan tahun 1980 lebih besar dari kerusuhan sebelumnya. Karena peristiwa ini melibatkan para gali (preman). Pada tanggal 21 Nopember 1980, hampir semua toko-toko Cina di ruas-ruas jalan besar menjadi sasaran amuk massa. Tokotoko milik Cina di Jl. Slamet Riyadi, Jl. Dr. Radjiman, Jl. Sidomulyo, Sondakan dan Laweyan menjadi sasaran pada hari itu (Wasino, 2006:66). Kemudian juga terjadi pembakaran di pabrik Cemani yang menyebabkan kerugian besar yang diderita oleh pabrik tersebut. Akibat aksi-aksi anarkis tersebut, ribuan buruh menjadi penganguran karena tidak semua perusahaan yang dirusak dapat segera membangun pabriknya kembali. Namun disamping kerugian materil terlebih lagi kerugian yang paling besar adalah terganggunya hubungan antara penduduk pribumi dengan penduduk etnis Tionghoa di Jawa Tengah yang selama ini terkenal rukun dan harmonis. Sudah tentu diperlukan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkan “luka-luka” tersebut (Setiono, 2002:1028).
Dampak
Kerusuhan tahun 1998
Dampak
dari kerusuhan rasial tahun 1998 lebih mengerikan dibandingkan dengan kerusuhan
dua periode yang lalu. Kerusuhan ini lebih merata di seluruh penjuru kota
Surakarta dan sekitarnya. Solo seolah-olah menjadi kota mati yang habis di
bombardir musuh. Suasana mencekam semakin terasa oleh kobaran api dan kabut
asap hitam yang menggelapkan udara. Reruntuhan gedung, ribuan bangkai sepeda
motor, ratusan bangkai mobil, dan barang-barang terbakar masih malang melintang
di seluruh ruas jalan. Demikian juga puluhan bangkai bus yang dibakar massa
belum dipindahkan dari tempatnya. Sektor perekonomian merupakan salah satu
bidang yang paling merasakan dampak yang cukup besar karena pusat-pusat
perdagangan yang menjadi kekuatan perekonomian di kota Surakarta mengalami
kelumpuhan karena hancur di bakar dan habis di jarah oleh massa selama
kerusuhan, oleh sebab itu terjadi kelangkaan barang dan harga kebutuhan pokok
melambung.
Sektor
transportasi juga lumpuh total, serta meninggalkan trauma yang melanda warga
Surakarta, seperti yang sudah diberitakan dalam. Hampir tidak ada kendaraan
bermesin lewat dijalan-jalan utama, kecuali konvoi kendaraan roda dua para
demonstran dan aparat kemanan. Bus-bus dari arah Jawa Timur tidak berani masuk
ke Jawa Tengah. Sesampai di ngawi petugas langsung memberitahu situasi,
sehingga banyak penumpang yang hendak ke Solo memilih “balik kucing”. Demikian
pula dari arah Semarang dan Yogyakarta, tidak ada satu pun angkutan umum yang
berani masuk.
Dunia
pendidikan juga merasakan dampak dari kerusuhan ini. Seperti yang diberitakan bahwa
hampir semua sekolah, mulai Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah harus
memulangkan siswanya lebih awal. Sedangkan beberapa sekolah mengah ditinggalkan
siswa-siswanya yang memilih ikut konvoi keliling kota. Ribuan pelajar yang akan
berangkat sekolah tertahan dipinggir jalan. Hanya pelajar yang diantar atau
menggunakan kendaraan pribadi yang bisa sampai sekolah. Namun, para guru
mengambil keputusan untuk memeliburkan mereka.
Upaya
Penanganan Konflik Rasial Antar Etnis Tionghoa dengan Pribumi Jawa di Surakarta
Pada Tahun 1972, 1980 dan 1998
1) 1) Peran ABRI. Peran ABRI dalam peristiwa rasial di Surakarta yang pada saat itu masih gabungan antara TNI AD, TNI AU, TNI AL dan Kepolisian sangat berperan dalam menghalau kerusuhan rasial di Surakarta, segala kekuatan dikerahkan agar kerusuhan cepat diredam serta ikut menjaga situasi agar tetap tenang, bahkan secara berkala anggota kepolisian setempat dibantu anggota TNI melakukan pemantauan di berbagai lokasi kerusuhan guna memastikan keadaan aman dari para perusuh. Penanganan peristiwa tahun 1972 tidak melibatkan anggota TNI maupun Kepolisian sebanyak dalam peristiwa tahun 1980 dan 1998, karena peristiwa ini hanya berlangsung dalam skala lokal di wilayah Surakarta. Namun tetap terdapat penjagaan-penjagaan dari aparat keamanan di lokasi-lokasi kerusuhan maupun jalan-jalan utama untuk mencegah timbulnya kekacauan susulan yang mungkin bisa terjadi kapan saja.
2) 2) Peran Pemerintah. Pemerintah memiliki peran yang sangat penting dalam upaya menangani kerusuhan rasial di Surakarta. Peran pemerintah baik itu dari pemerintah kota Surakarta sampai pemeritah Provinsi Jawa Tengah ikut memberikan sikap tegas dan membantu menenangkan masyarakat yang tengah takut serta khawatir dengan kondisi kota Surakarta dan sekitarnya yang luluh akibat konflik rasial yang mengerikan. Anggota Muspida Kotamadya Surakarta pada tahun 1980, kamis serta Jumat pagi turut turun kelapangan guna menenangkan suasana. Walikota Sukatmo SH, lewat seruannya menghimbau warga kota setempat untuk tidak mudah terpancing isu-isu yang belum tentu kebenarannya.
3) 3) Peran Organisasi. Dahsyatnya peristiwa
rasial di Surakarta memunculkan sikap simpati dari berbagai macam organisasi di
Surakarta, pada tahun 1980 Pangdam VII/Diponegoro mengucapkan terima kasih atas
peran beberapa organisasi seperti yang tertulis dalam (Siswoyo, 1981:14-25)
"kami merasa sangat berterima kasih atas pernyataan yang sangat
membesarkan hati dari pembuka-pembuka kekuatan sospol, para alim ulama serta
kalangan muda yang tergabung dalam KNPI dan AMPI yang telah memberikan dorongan
moril yang kuat kepada kami untuk menangani peristiwa yang menyedihkan dalam
masyarakat kita tadi sampai tuntas”. Pada tanggal 16 Mei 1998 di Solo, sekelompok
orang yang menamakan diri Solidaritas Mahasiswa Peduli Rakyat (SMPR)
mengeluarkan pernyataan sikap, esensinya antara lain, SMPR mengecam tindakan
brutal masyarakat tersebut, karena kerusuhan tersebut merupakan kontra
produktif bagi aksi reformasi dan menolak dengan tegas, bahwa kerusuhan
tersebut sama sekali bukan bagian dari aspirasi mahasiswa dalam menuntut reformasi
politik, ekonomi dan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Pu Putro, Y. A., Atmaja, H. T., & Sodiq, I. (2017). Konflik Rasial Antara Etnis Tionghoa Dengan Pribumi Jawa di Surakarta Tahun 1972-1998. Journal of Indonesian History, 6(1).
Comments
Post a Comment